Reintegrasi Sosial, Tanggulangi Bahaya Narkoba

FK – UGM. Penyalahgunaan narkoba mempunyai cakupan pemahaman yang sangat luas. Tentu saja tidak hanya terbatas pada penyimpangan penggunaan obat semata, namun diperlukan kacamata holistik untuk mengulasnya. Sistem distribusi obat, perdagangan internasional, kedokteran, kesehatan masyarakat, psikososial, hukum, politik ekonomi negara, bahkan kondisi geografis maupun kewilayahan Indonesia turut menjadi perhatian dalam masalah narkoba.

Mengingat penyalahgunaan narkoba mempunyai cakupan yang sangat luas, tentu tidak semua aspek akan menjadi bahasan. Dalam kesempatan ini, untuk memperingati hari Anti Narkoba Sedunia, Fakultas Kedokteran UGM secara khusus akan mengupas mengenai narkoba dan permasalahannya melalui pendekatan wawancara dengan beberapa narasumber.

Narkoba dan Keterputusan Rantai Kemanusiaan

Narkoba merupakan senyawa-senyawa ataupun bahan-bahan yang memberikan efek ketergantungan dalam tubuh manusia. Paparannya akan menyentuh aspek psikis kejiwaan yang kemudian berdampak pada ketergantungan fisik. Tentu saja narkoba akan menjadi bermasalah jika disalahgunakan pada tubuh manusia, terutama hanya untuk mengejar sensasi/kepuasan semata.

Menurut ketua Divisi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat Fakultas Kedokteran UGM, Prof. Dr. Sri Suryawati, Apt, terdapat dua kategori besar narkoba. Pertama, yang bahannya memacu stimulant dan kedua, yang bahannya mempunyai efek sedasi/halusinasi sehingga pengguna menjadi tenang, tidur bahkan bermimpi.

“Bayangkan saja kalau kelompok narkoba yang berguna untuk menstimulasi disalahgunakan. Kerja jantung, fisik, otot dipacu sehingga pengguna tidak merasa lelah maka tidak ada kebutuhan tidur, makan, asupan gizi menurun dan peredaran darah juga menurun,” ujarnya saat ditemui di sela-sela aktivitas mengajar di Fakultas Kedokteran UGM, Selasa (21/6) lalu.

Memang terdapat senyawa-senyawa tertentu yang menyebabkan ketergantungan dan digunakan oleh medis. Biasanya adalah senyawa untuk obat penekan rasa sakit berlebih, misalnya pada penderita kanker ataupun jantung. Pasien sangat memerlukan senyawa itu untuk mengurangi nyeri. Dalam kasus tersebut, prinsip kehati-hatian menjadi keutamaan dokter. Peraih BPOM’s Awards tahun 2016 ini memaparkan bahwa pemberian resep adalah bentuk kontrol dokter untuk meminimalisir penyalahgunaan obat.

Penyalahgunaan obat, terutama untuk obat penghilang rasa sakit seperti morfin menyimpan problem sistemik dalam proses pengobatan pasien. Ketakutan atas dampak kriminalisasi mempengaruhi sirkulasi pasokan obat. Akibatnya, ada kecenderungan dokter menjadi enggan untuk memberikan resep dan pihak supplier maupun apotek juga ketakutan untuk menyediakan obat. Dampaknya, pasien tidak memperoleh terapi yang ‘tepat’ untuk menghilangkan rasa sakit hingga berujung pada kematian.

Seperti halnya kasus kematian balita di Halmahera karena tidak adanya obat untuk mengatasi kejang. Obat itu masih dinilai sebagai obat ‘sensitif’ di daerah tersebut. Belum lagi kasus beberapa penduduk pedalaman yang mengalami pecah gendang telinga karena tidak ada obat pelega hidung di daerahnya.

Penyalahgunaan Narkoba tidak hanya berdampak pada ‘pengguna’ semata. Penyalahgunaan itu akhirnya berdampak secara sistemik mengganggu sistem pelayanan kesehatan masyarakat. “Stop penyalahgunaan narkoba, karena itu akan memutus rantai kemanusiaan di sekitar kita”, tegas Profesor Suryawati.

 

Pendekatan Keluarga, Terapi bagi ‘Pengguna’

Konvensi Penanggulangan Narkoba Internasional menetapkan ada empat upaya untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba. Pertama, upaya pencegahan. Pemerintah sejauh ini sudah gencar melakukan kampanye anti narkoba, membentuk badan penanggulangan narkoba, menggalakkan komunitas anti narkoba di sekolah dan kampus bahkan sampai di tingkat pedesaan dalam berbagai jenis organisasi ataupun program kampanye lainnya.

Seperti halnya kehadiran komunitas “Rajabandar” (Gerakan, Jauhi, Bahaya, Napza, dan Rokok) di lingkungan UGM. Ide awal pembentukan Rajabandar ini adalah dari Direktorat Kemahasiswaan UGM yang bertujuan untuk membentuk jejaring komunitas anti NAPZA dan Rokok melalui penyebaran informasi di sosial media. “Intinya lebih pada upaya edukasi untuk komunitas mahasiswa”, terang Pembina Rajabandar, dr. Rustamaji, M.Kes, Jumat (24/6) di Fakultas Kedokteran UGM.

Upaya kedua adalah penyembuhan kepada pecandu agar tidak tergantung lagi. Dalam hal ini peran dokter terlihat lebih kentara untuk memberikan terapi penyembuhan. Dr. Silas Henry Ismanto, SpKJ saat ditemui di ruang kerjanya menyatakan bahwa pasien akan diberi methadone sebagai upaya terapi.

Methadone merupakan obat dari golongan opioid yang dapat digunakan untuk terapi pada pasien yang mengalami ketergantungan terhadap heroin (putau). Obat yang diminum sehari satu kali ini mengakibatkan pasien mempunyai kesempatan untuk bekerja dan berperilaku lebih terkendali, stabil serta bisa hidup normal dibandingkan saat menggunakan narkotika atau obat jenis putau atau sejenisnya.

“Tentu saja pasien yang datang tidak serta merta langsung dikasih obat, pasien perlu diajak komunikasi, diberikan psikoterapi, maupun psikoedukasi bagaimana menghadapi stres tanpa harus memakai obat”, tegas ahli ilmu kedokteran jiwa ini, Jumat (24/6).

Upaya ketiga adalah rehabilitasi. Setelah pasien disembuhkan dengan menggunakan terapi medikamentosa, pasien perlu dilakukan rehabilitasi untuk menanggulangi ‘kekambuhan’. Dalam proses rehabilitasi ini peran dokter diupayakan untuk mengobati keluhan penyakit yang muncul. Selanjutnya, tim psikologi dari dinas sosial akan turut serta mendampingi upaya rehabilitasi pasien.

Upaya yang terakhir adalah reintegrasi sosial agar pasien yang sudah mendapatkan rehabilitasi dapat kembali beraktifitas secara normal di masyarakat. Tanggung jawab atas proses reintegrasi sosial ini memang terlihat belum terlihat nyata. Profesor Suryawati dalam poin ini pun menegaskan bahwa upaya reintegrasi sosial masih terlihat sangat fragmented. “Pendampingan sosial sangat penting untuk mencegah ‘kekambuhan’ pengguna, terutama peran keluarga, komunitas, dan sosial masyarakat sangat diharapkan untuk membantu mendukung keberhasilan terapi”, ujarnya.

Pernyataan ini juga selaras dengan apa yang disampaikan dokter Silas yang lebih menekankan pada upaya penting penanggulangan bahkan rehabilitasi pecandu narkoba melalui pendekatan internal keluarga. Kebanyakan pasien yang mengalami ketergantungan akibat penyalahgunaan narkoba bermula dari hilangnya kepercayaan diri di lingkungan sosial sampai dengan ketidakmampuan diri untuk mengetahui harapan ataupun orientasi hidup.

Ahli ilmu kedokteran jiwa ini memaparkan bahwa kebersamaan maupun keterbukaan komunikasi dalam keluarga akan menumbuhkan kesadaran diri pada masing-masing pribadi terutama bagi pembentukan visi masa depan. Poin ini akan menjauhkan mereka dari ‘godaan’ penyalahgunaan narkoba maupun risiko kekambuhan. “Penting bagi kita untuk kembali seperti dulu bahwa keluarga itu saling menyapa, ada kesempatan tertentu untuk makan bersama dengan seluruh anggota keluarga, selain itu orang tua juga harus mampu mendengarkan keinginan dan harapan anak-anaknya, agar mereka tidak mencari jawaban di luar,” tegasnya.

Berbagai upaya menanggulangi bahaya narkoba telah dilakukan. Akan tetapi mengapa data jumlah pecandu narkoba di Indonesia masih tinggi?. Bahkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan adanya peningkatan jumlah pecandu narkoba sebanyak 4,2 juta di tahun 2014 menjadi 5,9 juta di tahun 2015.[1] Tentu saja pembacaan data tersebut akan menjadi sebuah kesimpulan yang terburu-buru jika semata-mata hanya menempatkan upaya pencegahan sebagai akar kegagalan atas melonjaknya jumlah pecandu.

Professor Suryawati sekali lagi menegaskan bahwa keempat upaya penanggulangan masalah narkoba tersebut merupakan satu kesatuan dan harus dilakukan secara simultan serta berkesinambungan. “Yang perlu menjadi catatan adalah proses reintegrasi sosial sebagai upaya nyata pendampingan pasien pasca rehabilitasi perlu untuk lebih diperhatikan”, pungkas Professor Suryawati saat menutup diskusinya. (Wiwin/IRO)

[1] Sumber data jumlah pecandu narkoba: http://regional.kompas.com/read/2016/01/11/14313191/Buwas.Pengguna.Narkoba.di.Indonesia.Meningkat.hingga.5.9.Juta.Orang; diakses 22/06/2016; Pukul 14.03.

 

Berita Terbaru