Rationing Obat dalam Kendali Biaya

FK-KMK UGM. Kekosongan obat, lamanya waktu pengiriman obat, jenis obat dan restriksi Fornas serta keterpaduan Fornas dengan regulasi lain yang terkait, perilaku penggunaan obat, kondisi keuangan rumah sakit, serta belum adanya dukungan teknologi informasi merupakan faktor-faktor penghambat implementasi Fornas. “Formularium Nasional (Fornas) bertujuan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui peningkatan efektivitas dan efisiensi pengobatan, sehingga tercapai penggunaan obat rasional yang berpedoman pada daftar dan harga obat,” terang Dr. Endang Yuniarti, S.Si., M.Kes., Apt dalam ujian terbuka progam Doktor Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM (FK-KMK UGM), Jumat (16/8).

Fornas merupakan kebijakan yang ditetapkan Menteri Kesehatan untuk pelayanan obat bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Penyesuaian dalam mengimplementasikan Fornas dilakukan terutama dengan membatasi pemberian obat-obat dengan harga tinggi agar biaya pelayanan kesehatan tidak melebihi INA-CBGs yang telah ditetapkan, pembatasan ini dikenal dengan istilah Rationing.

Rationing merujuk pada cara-cara yang dilakukan untuk membatasi intervensi pelayanan kesehatan sebagai upaya mengontrol pengeluaran atau meningkatkan efisiensi guna menurunkan biaya perawatan pasien.

Rasa takut terhadap penyakit menyebabkan pasien meminta obat yang mahal ataupun membeli sendiri obat yang mahal, bisa jadi pemberian obat lain yang lebih murah bahkan tidak diobati akan memberikan hasil yang sama. “Contoh ini menyebabkan obat cenderung rentan terhadap pengelolaan yang kurang tepat, gratifikasi serta korupsi,” tutur tenaga kesehatan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta disertasi dengan judul Rationing: Langkah Krusial dalam Pelayanan Obat di bawah Kendali Biaya.

Dalam disertasinya Dr. Endang juga menjelaskan bahwa dalam mengatasi kendala proses implementasi Fornas adalah meningkatkan pemahaman manajemen rumah sakit dan pemberi pelayanan terkait konsep obat esensial dan penguatan proses terapi berbasis First line therapy. Perlunya transparasi dan keterbukaan dalam proses penyusunan Fornas dan revisi perlu ditingkatkan; sosialisasi, diseminasi, supervisi dan monitoring Fornas agar lebih terstruktur (dimulai dari tingkat pendidikan dan melibatkan asosiasi profesi); dan komunikasi antara kemenkes, BPJS Kesehatan, LKPP dan industri diperbaiki dan ditingkatkan guna tercapai keterpaduan Fornas dengan e-katalog dan proses e-klaim serta ketersediaan obat di pasaran.

Rationing obat yang dilakukan tanpa pedoman yang jelas akan berpotensi merusak sistem pelayanan obat dalam JKN, menghambat tercapainya Universal Health Coverage (UHC) dan berpotensi melanggar etika medik. Kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk memandu dan mengarahkan praktik Rationing di rumah sakit, meliputi: 1) perbaikan standar pengobatan, 2) perbaikan formularium rumah sakit, dan 3) regulasi dan standar prosedur operasional (SPO) untuk obat berbiaya tinggi.

“Rationing yang transparan berdasarkan prinsip-prinsip yang ada akan memberikan dampak positif berupa terimplementasikannya Fornas dan pelayanan obat yang beretika,” ujar Dr. Endang saat memaparkan hasil penelitiannya.

Adapun faktor-faktor yang mendukung implementasi Fornas diantaranya: 1) pola penggunaan obat yang mengutamakan obat generic dan obat berbiaya rendah, 2) kondisi keuangan rumah sakit, 3) sikap pemberi pelayanan terhadap Fornas, 4) peresepan elektronik, dan 5) dukungan pasien. Penelitian yang dipromotori oleh Prof. Dr. Dra. Sri Suryawati, Apt. berhasil menghantarkan Dr. Endang meraih gelar Doktor ke-4.527 UGM. (Dian/IRO)

Berita Terbaru