Permainan dan Kesehatan Mental Anak

FK-UGM. Sejak kecil anak perlu diberikan stimulasi. Adanya stimulasi akan berdampak pada kematangan susunan saraf anak yang menopang pertumbuhannya. Permainan anak merupakan media stimulus yang efektif. Tentu saja bukan bermain dengan sembarang mainan. Permainan yang diberikan harus sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Beberapa catatan ini disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Edith P. Humris, SpKJ(K), saat memaparkan materi “Workshop Play Therapy: Bermain dan Permainan”, Rabu (23/8) di Fakultas Kedokteran UGM.

“Anak selalu memiliki dorongan rasa ingin tahu. Setiap anak baik sehat maupun terganggu selalu tertarik dengan bermain dan permainan, baik dengan alat permainan (toys) maupun tanpa alat,” imbuhnya.

Bermain menjadi kebutuhan anak karena kemampuan verbal anak masih terbatas. Keinginan untuk selalu mengeksplorasi lingkungan harus diimbangi dengan stimulus untuk meningkatkan kemampuan intelektual maupun kemampuan motoriknya.

Professor Edith menambahkan bahwa dalam perkembangan fase sensorimotor (0-1.5 tahun), anak akan mengenal dunia sekitar melalui bantuan panca indera (melihat, mendengar, mencium, mengecap). Sedangkan dalam fase praoperasional (usia 1.5-3 tahun), anak harus diberikan kebebasan untuk mengerti simbolik, konsep, bentuk, warna maupun jenis alat. Tahap berikutnya adalah tahap operasional konkret (usia 6-11 tahun), menjadi saat anak sudah mengerti mengenai konsep konkret. Dan untuk tahap operasional formal (usia 11-18 tahun), anak sudah mempunyai pengertian baik mengenai konsep konkret maupun abstrak.

Mengapa bermain dan permainan penting untuk anak?. “Banyak orang tua menganggap kalau mainan itu pemborosan, itu anggapan kurang tepat. Sekali lagi, anak diberikan mainan untuk memberikan stimulasi pertumbuhan, dengan catatan bahwa permainan sesuai usianya,” tegas ahli psikiatri anak dan remaja lulusan university of Hawai USA ini.

Mainan bermanfaat untuk melatih motorik kasar, motorik halus, kemampuan sosial, ataupun untuk belajar bermain peran. Professor Edith juga berpesan agar orang tua jangan membeli mainan untuk meyalurkan agresi anak seperti pedang-pedangan, ataupun senapan mainan. Selain itu, alat permainan tidak boleh dilempar untuk menyalurkan kemarahan.

“Saat anak tidak tertarik dengan mainan, itu bisa menjadi indikasi gangguan jiwa. Terapi yang dilakukan adalah bermain dengan dokter jiwa anak sebagai sarana komunikasi, menilai taraf perkembangan anak dan gangguan jiwa, maupun pemberian terapi untuk menanamkan nilai-nilai positif,” ujarnya.

Semua anak memang harus dirawat dengan penuh kasih sayang. Anak-anak yang mendapat perlakuan kurang baik sejak kecil akan berdampak kurang baik bagi pertumbuhannya. Seperti halnya materi yang disampaikan oleh Prof. Panos Vostanis dari University of Leicester, UK, bahwa trauma dan konflik kekerasan bisa memberikan tekanan tersendiri bagi pertumbuhan anak. Apabila sudah berada dalam tahap ini, anak akan mengalami gangguan emosi, motivasi dan perkembangan kepribadian serta perubahan pola hubungan dengan orang lain.

“Anak yang tidak mendapat perhatian orang tua saat menangis akan mempunyai dampak besar bagi masa depannya, seperti halnya munculnya perilaku negatif sampai dengan keputusasaan. Psychodynamic (play therapy) bisa menjadi salah satu bentuk penanganan,” terangnya saat memberikan materi “Impact of Trauma on Child Mental Health”.

Acara workshop dan kuliah tamu yang mendatangkan dua pakar ilmu kesehatan jiwa ini merupakan serangkaian acara pra kongres: The 9th Congress of The Asian Society for Child and Adolescent Psychiatry and Allied Professions (ASCAPAP) and 3rd National Congress of the Indonesian Association of Child and Adolescent Mental Health (IACAMH) yang akan diselenggarakan 2 hari ke depan. (Wiwin/IRO)

Berita Terbaru