Perlukah Reformasi Sistem Kesehatan Nasional?

FK-UGM. Pertanyaan pematik tersebut muncul dalam diskusi refleksi dan evaluasi sistem pelayanan kesehatan dengan tajuk “Kaleidoskop Kebijakan Kesehatan 2017: Apakah Fragmentasi Sistem Pelayanan Kesehatan Semakin Parah?”, Kamis (28/12) di ruang senat KPTU lantai 2 Fakultas Kedokteran UGM.

Tidak adanya komunikasi dan koordinasi antara dua kelompok Undang-undang yakni UU SJSN dan UU BPJS dengan UU Kesehatan Pemda menjadi opini hangat yang diangkat oleh Pusat Kebijakan Manajemen Pelayanan Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM sebagai latar belakang pelaksanaan kegiatan diskusi. Hal tersebut telah dianggap menyebabkan adanya fragmentasi dalam sistem pelayanan kesehatan.

“Pada dasarnya isu fragmentasi data jika dikaji berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS tidak ada yang dilanggar  dalam penggunaan data, hanya saja perlu adanya transparansi dan akuntabilitas,” ungkap Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD.

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D dalam kesempatan ini juga memaparkan bahwa penyebab utama pada fragmentasi sistem pelayanan kesehatan adalah pertama, fragmentasi dalam penggunaan data untuk pengambilan keputusan. Kedua, data yang ada di BPJS dikelola secara sentralistik dengan tidak adanya kesempatan untuk melakukan analisis di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional. Ketiga, terjadinya fragmentasi dalam sistem penanganan TB akibat adanya Dual-Pooling dan Dual Purchasing di BPJS dan di Kemenkes/Dinas Kesehatan. Dan yang keempat, tidak adanya transparansi mengenai defisit yang terjadi di BPJS,.

“Sejauh 4 tahun ini tidak pernah dibahas dengan jelas mengapa terjadi defisit dalam pelaksanaan BPJS. Dalam hal ini untuk mengatasi adanya defisit di BPJS akibat fragmentasi data yg ada, maka perlu peran Pemerintah Daerah masing-masing dalam upaya membiayai defisit BPJS dengan sistem penetapan ambang batas atas pembiayaan BPJS oleh pusat ,” tegasnya.

Menanggapi hal ini, mantan Dirjen P2PLP Kemenkes RI, Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama Sp.P(K) memaparkan beberapa solusi yang terbilang ekstrim. “Akan lebih baik ketika pada kasus TB perlu adanya satu wadah khusus yang menangani pelayanan pasien TB layaknya penanganan pada pasien HIV sehingga terdapat keseragaman dalam proses penanganan TB,” ujarnya. Pernyataan ini pun juga dibenarkan oleh Bupati Kulon Progo, dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) yang turut menyimak jalannya diskusi secara online.

Kegiatan yang berlangsung dalam 4 sesi dan menjadi forum diskusi fenomena perkembangan fragmentasi sistem pelayanan kesehatan dalam konteks adanya JKN dan refleksi keadaan sistem pelayanan kesehatan di tahun 2017 dan dampaknya ini juga dihadiri oleh Prof. dr. Adi Utarini M.Sc.MPH., P.hD., serta pewakilan dari Dinas Kesehatan DIY dan Pemerintah Daerah DIY, peneliti, praktisi dan akademisi kebijakan kesehatan, mahasiswa S2 Kebijakan dan Managemen IKM, anggota Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dan Community Practice di berbagai topik kebijakan. (Rafi/Reporter)

Berita Terbaru