Kasus Malaria Meningkat di Menoreh

FKKMK-UGM. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, malaria masih menjadi masalah kesehatan di perbukitan Menoreh, bahkan terjadi peningkatan selama 5 tahun terakhir. Tahun 2007 dalam World Health Assembly (WHA) ke-60 telah disepakati komitmen global tentang eliminasi malaria bagi setiap negara. Di Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 293 tahun 2009 tentang Eliminasi malaria dalam upaya menunjang program WHA. Arah agenda penelitian menuju eliminasi malaria, terutama untuk memperbaiki pengendalian malaria dan mengurangi morbiditas dan kematian dengan penelitian pada pengembangan alat, intervensi, dan strategi untuk mengendalikan transmisi dan pemberantasan parasit pada manusia.

Beberapa upaya telah dilakukan yaitu dengan pengendalian vector dan manajemen kasus malaria, tetapi masih belum cukup. Malaria Eradication Research Agenda (malERA) menyepakati beberapa agenda penelitian global, meliputi: pengobatan, vaksin, pengendalian vektor, modelling, monitoring evaluasi & surveilans, diagnosis, dan sistem kesehatan. Pemodelan malaria dan informasi mengenai spatial, temporal dan spatiotemporal malaria digunakan sebagai salah satu strategi dalam pengendalian malaria agar efektif dan efisien.

Dalam promosi Doktor Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM (FKKMK UGM), Dwi Sarwani Sri Rejeki menyampaikan disertasinya yang berjudul “Model Prediksi Kejadian Malaria (Studi Kasus Daerah Endemis di Ekosistem Menoreh)”. Penelitian ini menggunakan metode data iklim dan intervensi bulanan selama 10 tahun yang dianalisis time series mennggunakan regresi binomial negative dengan software R. Data malaria per bulan per desa berasal dari dinas kesehatan tahun 2005-2015 dianalisis dengan global Spatial Autocorelation (Indeks Moran), purely temporal clustering, space-line clustering dengan software ArcGIS dan SaTScan.

Hasil penelitian Doktor ke 3.899 di UGM ini memberikan kesimpulan bahwa 1) setiap peningkatan kegiatan mass blood survey/ mass fever survey (yang dilakukan setelah ada laporan kasus) sebanyak 1 kali maka akan meningkatkan kasus malaria sebanyak 29.38%. Jumlah kasus malaria periode bulan sebelumnya akan meningkatkan sebanyak 2.26% kasus malaria pada bulan berikutnya. 2) Clustered menjadi pola penyebaran dan pengelompokan malaria pada level desa secara spasial, temporal dan spasiotemporal di ekosistem Menoreh tahun 2005-2015. 3) Model prediksi yang dihasilkan pada level individu adalah sebesar 68% setelah mengendalikan variable perilaku pencegahan gigitan nyamuk, dengan probabilitas seseorang menderita malaria pada kondisi ketinggian rumah diatas 500 m dpl, dinding rumah terbuat dari bamboo/kayu, tidak dilakukan penyemprotan dalam satu tahun terakhir dan jarak rumah dengan perkembangbiakan nyamuk kurang dari 100 meter. 4) Pengelompokan malaria pada level individu berdasarkan analisis buffering rumah dekat dengan tempat pengembangbiakan nyamuk, analisis clustering teridentifikasi satu most likely cluster dan dua secondary cluster, kasus malaria lebih banyak terjadi pada wilayah kurang padat penduduk.

Dalam disertasi yang dipromotori oleh Prof. dr. Hari Kusnanto, SU., Dr.PH, Dwi menyarankan bahwa perlunya dilakukan upaya pengendalian secara terpadu, komprehensif dan berkesinambungan di wilayah ekosistem Menoreh dengan melibatkan lintas provinsi dan kabupaten serta pemerintah pusat dan tidak lupa kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam mengendalikan malaria. (Dian/Humas)

Sumber: Ringkasan Disertasi Model Prediksi Kejadian Malaria (Studi Kasus Daerah Endemis di Ekosistem Menoreh), Dwi Sarwani Sri Rejeki, 2018.

Berita Terbaru