Antibiotik dan Dampaknya

FK-UGM. Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Director General WHO memiliki visi “together for a healthier world”. Demi mewujudkan visi tersebut maka prioritas WHO diantaranya universal health coverage, emergency, kesehatan ibu dan anak, bencana dan perubahan iklim. Dia juga menginginkan supaya kesehatan menjadi pusat agenda global WHO dengan beberapa program diantaranya antimicrobial resistance, climate and environmental change, dan noncommunicable diseases. Visi tersebut disampaikan Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, MHA (Ino),DTM&H (UK), DTCE (Jpn), SpP(C)(Ino) pada saat memberikan kuliah umum S1 dan S2 di Fakultas Kedokteran UGM pada jumat lalu (18/8).

Antimicrobial resistance (AMR) menjadi salah satu agenda prioritas WHO. Berdasarkan prediksi Alexander Fleming, FRCS -penemu antibiotik pertama kali, pada tahun 1945, dia menyatakan “akan ada waktu dimana penicillin (antibiotik) bisa dibeli oleh siapa saja dan dapat dibeli ditoko manapun (tanpa resep). Bahayanya apabila ada yang mendapatkan dosis yang terlalu sedikit sehingga kumannya menjadi resisten.” Saat ini, apa yang diprediksikan oleh Fleming sudah terjadi. Masalah kemudian muncul, apabila semua infeksi sudah resisten maka suatu saat akan ada masa dimana dunia tidak memiliki antibiotik lagi (sudah tidak mempan), sedangkan proses resisten lebih cepat dibanding dengan penemuan antibiotik baru.

Dampak yang ditimbulkan akibat dari tidak adanya antibiotik yaitu infeksi tidak dapat diobati, penyakit-penyakit tidak bisa diobati, pasien lebih lama tinggal di rumah sakit, biaya obat menjadi jauh lebih mahal, penyebaran penyakit antar negara dan penyakit-penyakit seperti kanker, bedah komplek, pergantian sendi, transplantasi organ, sepsis, dialisis mendapatkan risiko terbesar. Sedemikian besar dampak dari AMR sehingga perlu penanganan internasional. Dalam World Health Assembling 2015, WHO memutuskan bahwa perlu usaha bersama di bidang AMR yaitu menciptakan kesadaran, pengawasan, mengurangi infeksi, penggunaan antibiotika, dan investasi berkelanjutan.

Prof. Tjandra juga membicarakan tentang International Health Regulation (IHR) terkait dengan permasalahan penularan penyakit antar negara. Potensi bahaya kesehatan akibat penularan penyakit antar negara yaitu infeksi, zoonosis, ketahanan makanan, kimia, dan radio nuklir. Lebih dari 2 milyar orang bepergian menggunakan pesawat udara dan 100 wabah selama 10 tahun menular melalui kapal laut. Sehingga potensi penularan penyakit antar negara sangat besar dan cepat. “Yang terpenting adalah surveilance, sehingga kita tahu jumlah kejadian kesehatan, kita punya data kejadian penyakit rata-rata, apabila tiba-tiba data meningkat maka kemungkinan ada kejadian. Sehingga jika ada sesuatu yang aneh laporkan ke WHO, supaya negara lain bisa terinformasi”, pesan Prof. Tjandra, senior advisor WHO SEARO.

Dalam IHR ada istilah Public Health Emergency of International Concern yaitu kedaruratan kesehatan masyarakat karena mungkin menular antar negara. Jika Public Health Emergency of International Concern diputuskan dalam suatu negara, maka implikasinya sangat besar sekali, bisa jadi negara tersebut diisolasi. “IHR menjadi sangat penting karena penyakit serius dan tidak biasa itu selalu terjadi dan dengan adanya globalisasi dimana orang pergi dari satu negara ke negara lain dengan sangat mudah, sehingga kita perlu aturan kesehatan internasional,” tegas Prof. Tjandra. (Dian/IRO)

Berita Terbaru